”Aksi militer bukan pilihan pertama saya. Ini (serangan) bukan luaran yang kami, atau mitra kami, cari. (Tapi) kami tak bisa berdiri berpangku tangan ketika seorang tiran mengatakan kepada rakyatnya 'tidak akan ada ampun’.” Presiden AS Barack Obama dari Brasil, Sabtu, 19 Maret 2011, NPR/AP
Minggu (20/3) dini hari itu Libya benar-benar hujan bom. Meski tak dikonfirmasi oleh Washington, stasiun televisi CBSmemberitakan ada pengebom siluman (stealth) B-2 Spirit Amerika yang ambil bagian dalam pengeboman Libya. Lalu di Laut Tengah yang berbatasan dengan Libya di utara ada sejumlah kapal perusak AS berpeluru kendali kelas Arleigh Burke yang bersama dengan kapal perang Inggris HMS Triumph melontarkan 124 rudal jelajah Tomahawk.
Tidak kalah aksinya adalah jet penyerang darat Tornado GR4 Inggris dan Mirage 2000 Perancis yang juga ikut menghantam sasaran-sasaran di Libya.
Dengan itu, perang Libya telah dimulai. Kekuatan sekutu Eropa ditambah AS, beberapa negara seperti Denmark, dan perlawanan Libya berhadapan dengan Pemerintah Libya di bawah pimpinan Kolonel Moammar Khadafy yang dinilai sudah tidak lagi punya legitimasi.
Setelah Dewan Keamanan PBB menyetujui penegakan zona larangan terbang Kamis silam, seperti disinggung oleh George Friedman dari Stratfor, Senin, ada sejumlah strategi yang dipikirkan oleh sekutu. Yang pertama sekadar menegakkan zona larangan terbang. Yang kedua, penegakan zona disertai dengan serangan terhadap pusat-pusat komando-dan-kontrol. Yang ketiga, bisa juga kedua hal tersebut ditambah dengan serangan darat langsung ke kekuatan Khadafy. Yang terakhir itu sudah dekat dengan pilihan yang paling luas, yakni invasi dan pendudukan Libya.
Ketika di permukaan pembicaraan politik berlangsung, baik di New York maupun di Paris, hingga Sabtu lalu, persiapan untuk menggempur telah dilakukan. Kontak dengan kelompok perlawanan untuk menyiapkan mereka terhadap apa yang bakal terjadi, pembangunan saluran komunikasi dan logistik, masuk dalam aktivitas praserangan. Termasuk di sini adalah juga penetapan sasaran serangan serta rekonaisans sasaran untuk memberi informasi paling mutakhir. Landasan bagi perang juga ditopang oleh rekonaisans dari udara dan antariksa.
Menurut Friedman, perang dilancarkan dengan serangan pertama berupa serangan melumpuhkan untuk menghancurkan dan mengisolasi struktur komando. Serangan ini juga dimaksudkan untuk membunuh para pemimpin, seperti Khadafy, dan anak-anaknya dan pemimpin senior lain.
Menyisakan kehancuran
Ketika mesin perang sekutu itu digunakan, Khadafy yang sebelum ini berhasil menekan balik kekuatan pemberontak dengan keunggulan di udara mengalami kesulitan untuk menghadapinya.
Rudal jelajah Tomahawk datang bak palu godam yang menghancurkan pusat-pusat komando Khadafy, selain juga pangkalan dan konsentrasi kekuatan Khadafy. Tomahawk yang sudah diciri sebagai senjata pembuka serangan semenjak Perang Teluk 1991 terbang mengikuti kontur permukaan Bumi.
Deretan sistem pertahanan udara Libya didukung oleh peralatan buatan Rusia, yakni SA-6 Gainful/SA-8 Gecko. Ada juga brigade dengan SA-3 Goa dan SA-2 Guideline. Namun, yang disebut-sebut sebagai ancaman adalah sistem rudal antipesawat SA-5A Gammon (The Military Balance, IISS, 2010).
Gammon adalah rudal antipesawat yang bisa mencapai ketinggian sekitar 40 km dan jangkauan mendekati 300 km.
Untuk pesawat yang terbang rendah, pertahanan udara Libya juga mengoperasikan SA-7 Grail yang mampu melesat dengan kecepatan maksimum sekitar 2.000 km per jam dengan jangkauan 5 km. Televisi Libya menayangkan sebuah pesawat Perancis yang diklaim ditembak jatuh oleh pertahanan udara Libya meski Perancis menyangkal berita tersebut.
Guna memperkuat serangan penghancuran terhadap pertahanan udara Libya, jet Tornado GR4 Inggris dipersenjatai dengan rudal Storm Shadow. Rudal seberat 1,3 ton dan berjelajah sekitar 250 km ini menuju sasaran dengan dipandu sinyal GPS.
IISS juga menyebutkan, Angkatan Udara Libya mengoperasikan 374 pesawat yang layak tempur, antara lain, terdiri dari jet tempur Mirage F-1E, MiG-25 Foxbat, MiG-23 Flogger, dan MiG-21 Fishbed yang lebih tua lagi. Pangkalan-pangkalan udara ini pula yang diperkirakan menjadi sasaran rudal Tomahawk, dan juga bom yang diangkut oleh pengebom B-2 bila benar pengebom ini ikut dalam serangan.
Bila radar dan sistem pertahanan udara lain telah dipatahkan, sasaran penting berikut pastilah kekuatan darat Khadafy. Hadirnya jet tempur Rafale dan Mirage Perancis dilaporkan juga untuk menghancurkan tank-tank Khadafy yang kemarin ini sudah memukul kekuatan perlawanan di sekitar Benghazi.
Serangan dengan Tomahawk diyakini telah menimbulkan kehancuran besar di pusat-pusat militer Libya. Namun, berikutnya muncul pertanyaan, sebagaimana juga telah muncul di Perang Teluk dan invasi AS ke Irak tahun 2003, apakah perang lalu otomatis dimenangi setelah pertahanan udara lumpuh?
Menyusul serangan sekutu, Kolonel Khadafy telah membuka gudang senjata dan mempersenjatai rakyat yang masih mendukungnya dengan senapan otomatis, mortir, dan bom untuk melawan sekutu dan menjadikan invasi Barat berkepanjangan.
Masih terbuka pertanyaan, apakah tipe perang akan seperti Kosovo di mana operasi udara berlangsung berkepanjangan, atau kemudian—seperti juga dikemukakan Friedman—berubah menjadi operasi darat.
Melihat pengalaman di Irak, tentara pendudukan dengan persenjataan mutakhir seperti AS dan Inggris pun masih harus menghabiskan waktu lama dan korban banyak untuk menuntaskan perang.
Kini, Tomahawk telah diluncurkan, kapal induk Charles de Gaulle yang didukung 20 pesawat dan helikopter telah dikerahkan. Libya secara militer bisa dilumpuhkan.
Namun, hasil akhirnya terpulang kepada Khadafy dan pendukungnya, apakah pilih bertarung sampai titik darah penghabisan atau menyerah.
Oleh: NINOK LEKSONO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar